Pages

Minggu, 15 November 2009

KUMPULAN PUISI 2004



PANEN BUAH


Dalam panen-panen kehidupanku, tak jarang bagiku, kamu seperti buah-buah yang kupetik dari kebun paling jauh, dari pengelola paling tangguh.
Aku mencicipinya, kemudian.
"Suka tidak suka!"
Seperti Sangkuriang seandainya ia mendapatkan pujaan hatinya lalu
“Demi Tuhan! Aku capek mendapatimu dulu!”
Maka, setidaknya biarkanlah aku mereguk asin keringatku
Pada setiap dahaga padang pasir dan bukit-bukit kering

4 Juli 2004



TRANSPARAN

Warna baju yang dikenakannya kemarin
Saru warna bulan yang menembus pagi sekarang
Menuju sesuatu yang membuatnya pudar
Sebentar lalu;
Sebangun konsep lukisan diri yang tertangguhkan
Utuh kian cantik sekujur tubuh
Menggerayangi darah kepada pembuluh
Mendebarkan jantung

7 Juni 2004



MEMAGUT AWAN PUTIH


Mega itu tak berangsur mengandung kemudian melahirkan
Kendati air dari kolam penciptaan telah jutaan liter dipanaskan gairah ribuan nenek moyang

Mega itu tak berangsur melimpah kemudian dermawan
Hanya memucat pasi seperti kapas kepada kain kafan

Mega itu apa sudah meninggal dan harus dikuburkan?


Mega itu…
Oah... kasihanilah aku
Bawa aku ke kehampaan terdalammu
Kita bercengkrama dalam tiada teman
Kita berpacaran dalam tanpa jawaban
Aku rangkul engkau dalam bayang-bayang hujan

5 Juni 2004



SAHAJA


Mungkin karena sendiri, fajar saja lebih leluasa membagi
Menabur pijar tanpa perlu memilah mimpi
Ia mungkin saja menghuni timur pagi diri-diri
dan kini masih sesekali terbit dengan sumiratnya di hati
Menumbuhkan pepohon hingga rindang ketika aku kegerahan
Dan aku ketika kuyup ia hangatkan dengan sentuhan nakal

Kuningan, 2 Juli 2004



TUNGGU SAMPAI AKU SELESAI SEMBAHYANG


Pelan-pelan hujan melunturkan malam kepada kenangan dan impian
Mengecat dinding-dinding sepi persegi sebuah kamar
Aku mengajakmu masuk ke sana
Pintu aku kunci.dari dalam …
Silahkan kamu tiduran di atas ranjang
Tunggu sampai aku selesai sembahyang di atas sajadah beludru
Samping kelambu yang sementara harus kututupkan

Kuningan, 2 Juli 2004



KUE TAR & BUAH APEL


Puisi ini tanpa banyak basa-basi memang untukmu,
Sebagai api pada lilin yang tertancap di tengah atas tar.
Tiuplah...
Resapi kehangatannya...
Bersama elunan asap yang mengarah ke awan kemudian kepada bintang-bintang yang sering dihayalkan masa kita sedang mengenali kata-kata yang bertaburan
Pada hitungan ke sekian
Kamu akan terjaga di pangkuan ibunda tersayang
Dari berkaca-kaca di matanya
Puisi mengalir pelan membasuh pipi kemerahan bak apel-Nya
Dan akan menetes di pundakmu..

12 Juni 2004



PERNYATAAN TERBUKA
Kepada Seseorang

Seandainya kamu percaya kompleksitas individu, maka aku tak akan terlalu riskan untuk menyatakan sekedar sari buah renungan penyendiri bahwa aku tak pernah mengenal kadar perasaan yang sedang-sedang dalam suatu hubungan.
Aku menyukai ketegasan karena aku tahu betapa diperlukan dalam menyikapi realita yang sedemikian ngambang, samar, dan lembek, bahkan nyaris tipuan.
Lalu seandainya kau sudah kena maka meresaplah!
"Aku menyukaimu dalam-dalam”
Seperti air hujan.
Dan tanah tentang ekspresinya
: Kekayaan flora yang tak sekedarnya

27 Juli 2004



KERANDA EMAS

Akhirnya aku tak tega membiarkan jiwa ini memar-memar
Kadang merintih, tak jarang menangis
Tersekap tubuh beranatomi dalih-dalih
Akhimya aku tak kuasa, seperti tubuh kepada usia
Adam kepada hawa yang memaksanya memetik buah terlarang di surga
Kini harus kusambut dunia fana dengan lapang dada
Aku terima saja!
Sebagaimana mayat yang tak lagi bergerak
Ditinggalkan daya intelektualitas yang biasanya mendobrak
Aku akan menerima apa saja…
Misal do’a atau sekedar simpati

31 September 2004



OBROLAN DI PINGGIR KOLAM

Ingin aku menceburkan diri
Menjaring riak-riak obrolan perempuanku tentang bias matahari

16 September 2004



EPITAF

Sebaris kenangan masih sesekali termaknai melalui epitaf
Serumpun kenangan masih sesekali tersiar wangi kembang selasih yang bertebaran
Segenggam kenangan masih sesekali meliuk-liuk sebagai asap kemenyan yang mengelun di sisi batu nisan.

Teringat jelas jasad yang kini tergolek berkalang tanah itu: elok, cantik, anggun, menggairahkan, berwibawa, pintar, halus tutur katanya... , semuanya masih dini dalam benak ini! Namun agar do'a tak goa batu menutup,
ingatan itu harus segera dibebaskan!

Huh! Terkadang aku sulit untuk percaya. Harapan yang telah kutempa, kupelihara dalam jangka waktu yang cukup lama itu, akhirnya "harus" terbunuh meninggalkan gelar "pengecut", "pecundang" dan yang lebih seram lagi adalah "penghianat".
Nista, memang. Terbunuh ketika baru saja memutuskan menyerah; memberi kemenangan lawan ketika berperang. Sebab itu pula lah, kini harapan itu terus bergaung seperti Echo di gunung-gunung.

Di rasukinya “kenangan” kemudian karena konon kenangan terbilang mudah terbuai oleh suka, membuatku semakin tersekap. Pengap!

Oh…Untungnya waktu tak mungkin bersedia untuk kembali. Prinsipnya begitu tegas! Maju! Untuk meraih keabadian. …Apa pula yang lebih berwibawa, mempesona, dari keabadian? Meladeni sang pengecut? Hm...
Aku harus menyesali dan menginsyafi kebodohanku. Belajar pada idealisme sang waktu. Namun sayang, idealisme itu malah hanya mampu berputar di dalam lingkaran idealisme lainnya. Entah esok, mudah-mudahan...

Do'a-doa terus kutebahkan agar lingkaran hitam tersebut pada akhirnya rapuh dan berguguran…

2004



MAINAN LAMA

Sesekali mengenang masalalu itu memang sungguh menyenangkan!
Kita bebas bermain, bebas pula diam atau gelisah.
Kita bisa menertawakan bisa cuek bisa pula membuatnya runyam.
Masa lalu itu seperti sekotak mainan yang kita simpan di laci lemari pakaian
Hadiah dari kakek? Dan terkunci keras waktu.
Sesekali orang dewasa pasti mudah saja membongkarnya. Sebab bagi anak kecil, nampaknya teralu sulit bahkan hanya untuk menjangkau dan memutar kuncinya.
Coba, deh!
Kamu akan tahu tergolong orang dewasakah atau masih kanak-kanak...?
Santai saja ...ini kan hanya soal main-main…:)


17 September 2004



KABAR BULAN KABAR MATAHARI

Terimalah kabar-kabar dariku sebagai teman kontemplasimu
Sebagai alat tulis diary-mu yang lugu
Atau sebagai pelacak posisi enak tidurmu
“Selamat berebah, Sahabat!”
Rasa sukamu akan menyelimuti
Dan cantiklah mimpimu pasti!
Aku akan menunggumu
Pagi-pagi di luar jendela sebelah timur kamarmu
Sebagai matahari, untuk kabar-kabarmu

15 September 2004



PAGI AIR BENING

Oah...pagi keberapakah ini?
Pagi air bening yang dimasak tadi malam

Kali ini enam gelas penuh kureguk habishabisan!


17 september 2004



SAJAK-SAJAK LAMA

Aneh!
Setelah kau yang meminta baru aku terjaga
di ruang puisi dalam yang selama ini ku tinggalkan
"Boleh masuk?" tanyamu dari balik pintu.
"Maaf, jangan dulu." cegahku kelimpungan, "Ijinkan tuk kurapikan seprei tempat tidurku terlebih dahulu."
Kau pun menunggu dengan rela di luar
Sampai sekarang...

cilaja, 06 September 2004



MESRA

Sekarang sudah maghrib
Ada sedikit waktu senggang untuk ku manjakan sunyi
Membelai sepi petang, mencubit kulit malam
Menggoda rasa tentram seusai sembahyang
Bersamanya aku akan ikut mengambang
Namun aku pun akan ikut menghilang
Dan biarkanlah kerinduan yang menafsirkan
Bulan: redup dan mendamaikan
Ketika itu, oh…,
Aku Ingin Kau memanggil ku mesra...

Rabu, 15 September 2004



LALU KENAPA KAU MENANGISIKU KEMUDIAN

Kain merah aku balutkan
: Terbungkus luka
Darah segar aku balurkan
: Lunturlah yang mengering sudah
Daging merah aku sampulkan
: Tertutup rapuhnya tulang
Debar jantung aku kencangkan
: Lupalah lemahnya kesadaran
"Apa yang kau getarkan telah membuai" kuharukan
lalu kau mengajakku berdansa
Tubuh aku kuburkan
: Lenyaplah yang hawa penasaran
"Kau membuai cintaku bangkit!" kutegaskan
Lalu kenapa kau menangisiku kemudian?

Cilaja-Kuningan, 27 november 2004



LIRIK BIRAHI

Aku nyalang
Mencentili Ialu lalang indera yang menurutku keganjenan di kamar

Aku nakal
Menggoda bolakbalik imaji yang menurutku kegatelan di kamar

Aku gombal
Memainkan mondarmandir kata yang juga menurutku sedang cari perhatian di kamar

Aku liar
menggagahi inspirasi yang telanjang karena mabuk keindahan di kamar

villa mama, 16 september 2004

0 komentar:

Copyright © 2014 Nge-Blog. All Rights Reserved. Template by CB Blogger. Powered by Blogger.